Negara yang maju, adalah negara yang pemerintah dan
rakyatnya berjiwa nasionalisme tinggi. Ada negara yang punya histori
panjang untuk membangun nasionalismenya. Ada pula negara yang umur
nasionalismenya baru beberapa abad.
Mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi
atau golongan, bukan hanya slogan, tapi sudah membudaya dan menjadi
karakter bangsanya. Lebih dari itu, ketika berhadapan dengan bangsa
lain, mereka tidak tunduk. Melainkan tegap dan memukul dada, dan berkata
inilah kami.
MENTAL INLANDER = MENTAL BUDAK !!!
"...........Emancipate yourself from the mental slavery.
No one but ourselves can free our minds............"
Redemption Song - Bob Marley
INLANDER, sebuah kata yang bermakna "ejekan" penjajah Belanda
pada kaum pribumi, tepatnya masyarakat nusantara. Memang angka 350 tahun
masa penjajahan Belanda bisa dikatakan debatable. Namun yang pastinya,
Belanda teramat lama di nusantara ini. Belanda yang paling lama
dibandingkan penjajah lainnya macam Spanyol, Portugis dan Inggris serta
Jepang. Saking lamanya, sisa-sisa jajahannya masih ada. Mulai dari
bangunan, sistem, bahasa, budaya hingga mental. Ya, mental inlander.
Mental jajahan. Mental budak. Adalah mental peninggalan penjajah
Belanda.
Mental Inlander, berarti kondisi jiwa, sikap dan prilaku, yang selalu
menganggap dari luar (barat) itu baik, maju, modern, pantas. Dan dari
budaya, negara, bangsanya itu selalu buruk, kolot, primitif, ketinggalan
zaman, terbelakang, dan tidak pantas. Dengan kata lain, mental inlader
adalah perasaan rendah diri sebagai bangsa Indonesia.
Ya kita harus akui kemampuan penjajah menciptakan mental inlander ini.
Bukan hanya mengeruk kekayaan alam, tapi penjajah (yang belum merasa
bersalah hingga hari ini) juga merusak mental bangsa hingga anak cucunya
hari ini.
Akibatnya dihari ini saat mental bangsa sudah jatuh, maka sehebat apapun
kita sebagai bangsa Indonesia, selalu akan terkebelakang dan tak mampu
berkembang. Kita menjadi bangsa latah yang selalu tertinggal beberapa
langkah.
Mungkin mental inlander masih abstrak bagi kita. Contoh sederhananya
begini. Saat ketemu turis bule, langsung mau foto bareng. Entah bule itu
seorang pejabat, artis, penjahat, atau apapun profesi dinegerinya, yang
penting bule. Langsung mengajak untuk foto bareng. Lalu foto itu
diupload di sosial media. Dengan bangga ia memperlihatkan bahwa ia sudah
berfoto bersama orang Bule. Tentu beda konteksnya mahasiswa yang tugas
belajar diluar negeri foto bareng dengan teman kuliahnya yang bule. Atau
rekanan bisnisnya orang bule. Atau apapun yang memang memungkinkan
seseorang pribumi berfoto bareng dengan orang Bule.
Contoh lain dari Mental Inlander adalah sikap sebagian orang yang
selalu membanggakan cowok/cewek bule. Atau mencari cowok/cewek bule sebagai
suami/istrinya. Tentu kita tidak mempersoalkan urusan takdir. Tetapi kita
melihat ada yang janggal saat seorang artis menjelaskan tentang mengapa
ia menikah dengan bule dengan mengatakan "Perbaikan Keturunan".
Harapannya tentu anak yang berwajah indo. Tetapi sebenarnya jika
disadari, kata itu sangat "Kejam". Seolah-olah gen orang Indonesia
adalah gen rusak. Sehingga harus diperbaiki dengan gen bule.
Di bidang mode, kita bisa temukan banyak orang Indonesia (yang berkulit
bervariasi mulai agak putih, sawo matang, coklat kemerahan hingga hitam)
yang suka mengecat rambutnya berwarna pirang. Rambut pirang yang pas
serasi dengan kulit putih orang bule dipaksa ke kulit sawo matang dan
hitam orang Indonesia. Tentu kita bisa bayangkan keanehannya. Tetapi
itulah mental inlander. Berusaha nampak seperti orang bule. Tidak bersyukur dengan gen Indonesia.
Bukan hanya ABG dan Artis yang mengidap mental inlander. Namun parahnya,
sebagian akademisi kita pun terjangkit. Parah malah. Akademisi yang
bermental inlader, selalu "patuh" dalam mengutip. Ia adalah penurut yang
baik. Ketika ia menulis, kita temukan banyak sekali kata "Menurut ini, menurut itu, menurut para ahli".
Sungguh sangat penurut !!!. Seolah semua teori barat dan akademisi
barat itu benar dan tak boleh dikritik. Seolah akademisi Indonesia tak
mampu melahirkan teori yang lebih baik daripada mereka.
Kembali ke persoalan Mental Inlander, ini adalah produk hegemoni. Produk
brain washing yang tak disadari. Kita tidak bangga sebagai bangsa
Indonesia. Kita selalu tidak percaya diri. Memang keliru jika kita
terlalu percaya diri. Memang kita harus banyak belajar pada barat,
terutama tentang teknologi. Bukan gaya dan pola hidupnya. Di sisi lain,
kita harus bangga dengan kearifan warisan leluhur kita. Kita harus
bangga dengan gen Indonesia. Bangga dengan rambut dan warna kulit kita.
Bangga akan kecerdasan kita untuk menyesuaikan teori dari luar yang
tidak relevan dengan kondisi kita. Ya kebanggaan itu adalah modal dasar
nasionalisme kita. Jika kita tidak bangga akan keindonesiaan kita, tentu
nasionalisme kita rapuh.
Sumber : http://www.diskusilepas.com