Minggu, 03 Agustus 2014

Nasionalisme dan Mental Inlander




Negara yang maju, adalah negara yang pemerintah dan rakyatnya berjiwa nasionalisme tinggi. Ada negara yang punya histori panjang untuk membangun nasionalismenya. Ada pula negara yang umur nasionalismenya baru beberapa abad.

Mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, bukan hanya slogan, tapi sudah membudaya dan menjadi karakter bangsanya. Lebih dari itu, ketika berhadapan dengan bangsa lain, mereka tidak tunduk. Melainkan tegap dan memukul dada, dan berkata inilah kami.


MENTAL INLANDER = MENTAL BUDAK !!! 

"...........Emancipate yourself from the mental slavery.
No one but ourselves can free our minds............"
Redemption Song - Bob Marley


INLANDER, sebuah kata yang bermakna "ejekan" penjajah Belanda pada kaum pribumi, tepatnya masyarakat nusantara. Memang angka 350 tahun masa penjajahan Belanda bisa dikatakan debatable. Namun yang pastinya, Belanda teramat lama di nusantara ini. Belanda yang paling lama dibandingkan penjajah lainnya macam Spanyol, Portugis dan Inggris serta Jepang. Saking lamanya, sisa-sisa jajahannya masih ada. Mulai dari bangunan, sistem, bahasa, budaya hingga mental. Ya, mental inlander. Mental jajahan. Mental budak. Adalah mental peninggalan penjajah Belanda. Mental Inlander, berarti kondisi jiwa, sikap dan prilaku, yang selalu menganggap dari luar (barat) itu baik, maju, modern, pantas. Dan dari budaya, negara, bangsanya itu selalu buruk, kolot, primitif, ketinggalan zaman, terbelakang, dan tidak pantas. Dengan kata lain, mental inlader adalah perasaan rendah diri sebagai bangsa Indonesia. Ya kita harus akui kemampuan penjajah menciptakan mental inlander ini. Bukan hanya mengeruk kekayaan alam, tapi penjajah (yang belum merasa bersalah hingga hari ini) juga merusak mental bangsa hingga anak cucunya hari ini.
Akibatnya dihari ini saat mental bangsa sudah jatuh, maka sehebat apapun kita sebagai bangsa Indonesia, selalu akan terkebelakang dan tak mampu berkembang. Kita menjadi bangsa latah yang selalu tertinggal beberapa langkah. Mungkin mental inlander masih abstrak bagi kita. Contoh sederhananya begini. Saat ketemu turis bule, langsung mau foto bareng. Entah bule itu seorang pejabat, artis, penjahat, atau apapun profesi dinegerinya, yang penting bule. Langsung mengajak untuk foto bareng. Lalu foto itu diupload di sosial media. Dengan bangga ia memperlihatkan bahwa ia sudah berfoto bersama orang Bule. Tentu beda konteksnya mahasiswa yang tugas belajar diluar negeri foto bareng dengan teman kuliahnya yang bule. Atau rekanan bisnisnya orang bule. Atau apapun yang memang memungkinkan seseorang pribumi berfoto bareng dengan orang Bule.

Contoh lain dari Mental Inlander adalah sikap sebagian orang yang selalu membanggakan cowok/cewek bule. Atau mencari cowok/cewek bule sebagai suami/istrinya. Tentu kita tidak mempersoalkan urusan takdir. Tetapi kita melihat ada yang janggal saat seorang artis menjelaskan tentang mengapa ia menikah dengan bule dengan mengatakan "Perbaikan Keturunan". Harapannya tentu anak yang berwajah indo. Tetapi sebenarnya jika disadari, kata itu sangat "Kejam". Seolah-olah gen orang Indonesia adalah gen rusak. Sehingga harus diperbaiki dengan gen bule.

Di bidang mode, kita bisa temukan banyak orang Indonesia (yang berkulit bervariasi mulai agak putih, sawo matang, coklat kemerahan hingga hitam) yang suka mengecat rambutnya berwarna pirang. Rambut pirang yang pas serasi dengan kulit putih orang bule dipaksa ke kulit sawo matang dan hitam orang Indonesia. Tentu kita bisa bayangkan keanehannya. Tetapi itulah mental inlander. Berusaha nampak seperti orang bule. Tidak bersyukur dengan gen Indonesia.

Bukan hanya ABG dan Artis yang mengidap mental inlander. Namun parahnya, sebagian akademisi kita pun terjangkit. Parah malah. Akademisi yang bermental inlader, selalu "patuh" dalam mengutip. Ia adalah penurut yang baik. Ketika ia menulis, kita temukan banyak sekali kata "Menurut ini, menurut itu, menurut para ahli". Sungguh sangat penurut !!!. Seolah semua teori barat dan akademisi barat itu benar dan tak boleh dikritik. Seolah akademisi Indonesia tak mampu melahirkan teori yang lebih baik daripada mereka.

Kembali ke persoalan Mental Inlander, ini adalah produk hegemoni. Produk brain washing yang tak disadari. Kita tidak bangga sebagai bangsa Indonesia. Kita selalu tidak percaya diri. Memang keliru jika kita terlalu percaya diri. Memang kita harus banyak belajar pada barat, terutama tentang teknologi. Bukan gaya dan pola hidupnya. Di sisi lain, kita harus bangga dengan kearifan warisan leluhur kita. Kita harus bangga dengan gen Indonesia. Bangga dengan rambut dan warna kulit kita. Bangga akan kecerdasan kita untuk menyesuaikan teori dari luar yang tidak relevan dengan kondisi kita. Ya kebanggaan itu adalah modal dasar nasionalisme kita. Jika kita tidak bangga akan keindonesiaan kita, tentu nasionalisme kita rapuh.



Sumber : http://www.diskusilepas.com

Teknologi

ScreenShoot Sule Detektif Tokek (2013) DVDRip 480p 350MB

 
Copyright © 2013 Ketik Coret Ketik
Distributed By Free Blogger Templates | Design by FBTemplates | BTT